Minggu, 24 Februari 2013

Museum Tsunami sebagai Media Evakuasi


Oleh: Rahmadhani, M.Bus

Selama berlangsung Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh pasca gempa dan Tsunami yang menimpa Aceh pada akhir Desember 2004 yang melibatkan hampir seluruh masyarakat dan lembaga nasional/internasional telah menghasilkan berbagai peluang dalam bentuk kemajuan pembangunan pada berbagai sektor yang telah dicapai dan dibangun, salah satunya adalah Museum Tsunami Aceh.

Tulisan ini terilhami saat kejadian dua gempa besar "megaquakes" yang mengguncang wilayah daratan Sumatera dan kepulauan Simeulue tanggal 11 April 2012. Kedua gempa tersebut yang diperkirakan akan mengakibatkan Tsunami telah menimbulkan kekhawatiran, kemacetan dan kepanikan massa di wilayah pantai barat Sumatera, khususnya Aceh. Bagaimanapun, pasca gempa besar tersebut, Museum Tsunami Aceh yang terletak strategis di pusat Kota Banda Aceh telah menjadi pilihan bagi masyarakat, khususnya para pelajar/siswa sebagai pusat evakuasi untuk menyelamatkan diri mengantisipasi perkiraan akan terjadi Tsunami.

Keberadaan Museum Tsunami Aceh sebagai museum kebanggaan masyarakat Aceh dan dunia atas kebangkitan masyarakat Aceh, selain menjadi simbol kekuatan dan kesabaran masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana Tsunami, juga menjadi Icon Pariwisata Tsunami Aceh ke depan. Museum yang dibangun melalui pendekatan arsitektur yang bernuansa Islami dan budaya Aceh dengan konsep dan design "Rumoh Aceh as escape hill" memiliki berbagai koleksi peninggalan Tsunami, media berbagi pengalaman bencana dan pengetahuan kebencanaan (geologi) telah menjadi pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi yang bersifat efektif dan produktif bagi masyarakat untuk selalu mengingat tragedi yang pernah terjadi dalam rangka menggugah respon kritis pada isu-isu kebencanaan dan membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju budaya kesiap-siagaan bencana "Disaster Risk Reduction" masa akan datang.

Museum Tsunami Aceh yang diresmikan oleh Bapak Presiden RI dan dibuka secara resmi kepada umum pada tanggal 8 Mai 2011 adalah satu-satunya museum Tsunami di Asia yang dianggap sangat strategis dan representatif, selain Museum Gempa Kobe di Jepang "Disaster Reduction and Human Renovation Institution". Dengan demikian, museum ini perlu terus dijaga dan dikembangkan sebagai media utama pembelajaran dan pendidikan "disaster mitigation center" bagi generasi muda tentang keselamatan dan membangun kesiap-siagaan kebencanaan, pusat evakuasi bagi masyarakat "evacuation center" bila terjadi bencana lainnya masa akan datang serta warisan penting bagi generasi muda Aceh mendatang untuk selalu mengingat bencana gempa dan Tsunami yang pernah menimpa Aceh.

Keberadaan Museum Tsunami Aceh telah mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya para pelajar/siswa dan masyarakat luar Aceh umumnya, termasuk para wisatawan manca negara dan peneliti kebencanaan. Setiap hari Museum Tsunami Aceh dikunjungi rata-rata 600 pengunjung. Namun, khusus pada hari Sabtu dan Minggu jumlah tersebut dapat mencapai 2000 sampai 2500 pengunjung (data 2011). Sementara, khusus pada hari liburan anak-anak sekolah, jumlah pengunjung Museum Tsunami Aceh dapat meningkat sekitar 3500 pengunjung atau meningkat sekitar 60%.

Museum Tsunami sebagai Pusat Evakuasi

Perlu disadari bahwa secara geografis, Indonesia berada pada lempengan bumi yang sangat rentan akan terjadinya berbagai bencana alam "Ring of Fire", sehingga menjadi perhatian kita semua untuk terus membangun kesadaran dan motivasi masyarakat kita terhadap upaya kesiap-siagaan dalam mengurangi resiko bencana "Disaster Risk Reduction" di masa akan datang.

Membangun upaya kesiap-siagaan bencana berarti kita sudah mempersiapkan diri dan mentalitas kita terhadap pengambilan langkah-langkah efektif apa saja dalam melakukan upaya penyelamatan diri sebelum, sedang dan pasca bencana terjadi. Langkah-langkah ini penting untuk mempersiapkan diri tentang bagaimana, kapan dan kemana untuk bergerak untuk menyelamatkan diri, sekaligus menghindari kepanikan dan ketakutan yang dapat berdampak pada jatuhnya korban.

Baru-baru ini, dua gempa besar berkekuatan 8,5 dan 8,2 skala Richter juga telah mengguncang wilayah daratan Sumatera dan kepulauan Simeulue tanggal 11 April 2012. Kedua gempa besar tersebut yang diprediksikan akan mengakibatkan Tsunami telah menimbulkan kekhawatiran, kemacetan dan kepanikan massa di wilayah pantai barat Sumatera, khususnya di Aceh.

Mengamati pengalaman saat gempa tersebut terjadi, Museum Tsunami Aceh telah menjadi pilihan bagi masyarakat, khususnya para pelajar/siswa sebagai pusat evakuasi untuk menyelamatkan diri dalam upaya mengantisipasi perkiraan akan terjadinya Tsunami. Diperkirakan 1000 masyarakat, khususnya para pelajar/siswa melakukan upaya penyelamatan diri secara spontanitas ke Museum Tsunami. Para petugas Museum Tsunami dengan berbagai keprihatinan dan kekhawatiran terhadap keselamatan diri dan anggota keluarga mereka tetap melakukan berbagai upaya mitigasi bencana kepada masyarakat, khususnya dalam menenangkan massa yang ingin memaksa masuk ke dalam museum padahal getaran gempa masih terjadi, walaupun massa akhirnya diperbolehkan masuk, namun tetap waspada dan siaga terjadinya berbagai kondisi yang paling buruk "worst scenario".

Hasil survey di lapangan, petugas selain mencoba menenangkan dan menertibkan massa, juga menyempatkan diri menanyakan alasan dan motif utama para pelajar/siswa menyelamatkan diri ke Museum Tsunami. Yang paling menakjubkan adalah umumnya para pelajar/siswa memberi jawaban yang hampir sama bahwa selain mereka telah sering mengunjungi Museum Tsunami dan mempelajari berbagai aktifitas museum, juga Museum Tsunami berfungsi sebagai pusat evakuasi bencana, khususnya bila terjadi gempa besar.

Dapat disimpulkan bahwa Museum Tsunami dengan berbagai koleksi peninggalan Tsunami, media berbagi pengalaman bencana dan pengetahuan kebencanaan telah menjadi pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi sangat efektif bagi masyarakat dalam menggugah respon kritis pada isu-isu kebencanaan dan membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju budaya kesiap-siagaan bencana, seperti yang telah dilakukan oleh para pelajar/siswa pasca gempa kembar pada tanggal 11 April 2012.

Langkah-langkah efektif yang dilakukan oleh para pelajar/siswa telah mengingatkan kita pada sebuah kearifan lokal yang telah berhasil diadopsi oleh masyarakat Simeulue melalui pengalaman "Smong"nya atau "Tsunami" dalam bahasa setempat, dimana sikap penyelamatan diri masyarakat saat akan terjadinya Tsunami bukanlah dilakukan secara spon tanitas, melainkan berdasarkan pengalaman bencana Tsunami yang pernah menimpa mereka pada tahun 1907 dengan jumlah korban jiwa yang relatif besar.

Museum Tsunami Aceh sebagai museum global diharapkan akan terus berfungsi dan berperan sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran dalam rangka memperkenalkan dan membangun kesadaran masyarakat terhadap budaya kesiap-siagaan bencana dengan menampilkan beragam objek "artefact" atau peninggalan bencana serta kegiatan berbagi pengalaman bencana masa lalu antara saksi hidup yang selamat dari bencana dengan para pengunjung museum "telling live stories/lessons from past disasters".

Dukungan semua pihak, khususnya Kementerian ESDM, BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh), TDMRC (Tsunami and Disaster Mitigation Research Center) dan masyarakat sangat diharapkan dalam memperkuat dan memajukan Museum Tsunami Aceh sebagai pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi yang didukung dengan berbagai media simulasi, tenaga ahli dan pengelolaan yang baik serta menjadi warisan penting bagi generasi muda Aceh untuk tidak pernah melupakan tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa Aceh yang menghilangkan harta benda dan orang-orang yang sangat kita cintai. ***

**Penulis adalah Manager Museum Tsunami Aceh/Pembicara pada Int’l Forum on Telling Live Stories/Lessons Learnt from Disasters, Kobe - Jepang (2010/2012).
**Tulisan ini dimuat di media Harian Analisa Online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar