Oleh: Rahmadhani, M.Bus
Selama berlangsung Proses Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh pasca gempa dan Tsunami yang menimpa Aceh pada akhir Desember
2004 yang melibatkan hampir seluruh masyarakat dan lembaga nasional/internasional
telah menghasilkan berbagai peluang dalam bentuk kemajuan pembangunan pada
berbagai sektor yang telah dicapai dan dibangun, salah satunya adalah Museum
Tsunami Aceh.
Tulisan ini terilhami saat kejadian dua
gempa besar "megaquakes" yang mengguncang wilayah daratan Sumatera
dan kepulauan Simeulue tanggal 11 April 2012. Kedua gempa tersebut yang
diperkirakan akan mengakibatkan Tsunami telah menimbulkan kekhawatiran,
kemacetan dan kepanikan massa di wilayah pantai barat Sumatera, khususnya Aceh.
Bagaimanapun, pasca gempa besar tersebut, Museum Tsunami Aceh yang terletak
strategis di pusat Kota Banda Aceh telah menjadi pilihan bagi masyarakat,
khususnya para pelajar/siswa sebagai pusat evakuasi untuk menyelamatkan diri
mengantisipasi perkiraan akan terjadi Tsunami.
Keberadaan Museum Tsunami Aceh sebagai
museum kebanggaan masyarakat Aceh dan dunia atas kebangkitan masyarakat Aceh,
selain menjadi simbol kekuatan dan kesabaran masyarakat Aceh dalam menghadapi
bencana Tsunami, juga menjadi Icon Pariwisata Tsunami Aceh ke depan. Museum
yang dibangun melalui pendekatan arsitektur yang bernuansa Islami dan budaya
Aceh dengan konsep dan design "Rumoh Aceh as escape hill" memiliki
berbagai koleksi peninggalan Tsunami, media berbagi pengalaman bencana dan
pengetahuan kebencanaan (geologi) telah menjadi pusat edukasi, rekreasi dan
evakuasi yang bersifat efektif dan produktif bagi masyarakat untuk selalu
mengingat tragedi yang pernah terjadi dalam rangka menggugah respon kritis pada
isu-isu kebencanaan dan membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju
budaya kesiap-siagaan bencana "Disaster Risk Reduction" masa akan
datang.
Museum Tsunami Aceh yang diresmikan oleh
Bapak Presiden RI dan dibuka secara resmi kepada umum pada tanggal 8 Mai 2011
adalah satu-satunya museum Tsunami di Asia yang dianggap sangat strategis dan
representatif, selain Museum Gempa Kobe di Jepang "Disaster Reduction and
Human Renovation Institution". Dengan demikian, museum ini perlu terus
dijaga dan dikembangkan sebagai media utama pembelajaran dan pendidikan
"disaster mitigation center" bagi generasi muda tentang keselamatan
dan membangun kesiap-siagaan kebencanaan, pusat evakuasi bagi masyarakat
"evacuation center" bila terjadi bencana lainnya masa akan datang
serta warisan penting bagi generasi muda Aceh mendatang untuk selalu mengingat
bencana gempa dan Tsunami yang pernah menimpa Aceh.
Keberadaan Museum Tsunami Aceh telah
mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya para
pelajar/siswa dan masyarakat luar Aceh umumnya, termasuk para wisatawan manca
negara dan peneliti kebencanaan. Setiap hari Museum Tsunami Aceh dikunjungi
rata-rata 600 pengunjung. Namun, khusus pada hari Sabtu dan Minggu jumlah
tersebut dapat mencapai 2000 sampai 2500 pengunjung (data 2011). Sementara,
khusus pada hari liburan anak-anak sekolah, jumlah pengunjung Museum Tsunami
Aceh dapat meningkat sekitar 3500 pengunjung atau meningkat sekitar 60%.
Museum Tsunami sebagai Pusat Evakuasi
Perlu disadari bahwa secara geografis, Indonesia
berada pada lempengan bumi yang sangat rentan akan terjadinya berbagai bencana
alam "Ring of Fire", sehingga menjadi perhatian kita semua untuk
terus membangun kesadaran dan motivasi masyarakat kita terhadap upaya
kesiap-siagaan dalam mengurangi resiko bencana "Disaster Risk
Reduction" di masa akan datang.
Membangun upaya kesiap-siagaan bencana
berarti kita sudah mempersiapkan diri dan mentalitas kita terhadap pengambilan
langkah-langkah efektif apa saja dalam melakukan upaya penyelamatan diri sebelum,
sedang dan pasca bencana terjadi. Langkah-langkah ini penting untuk
mempersiapkan diri tentang bagaimana, kapan dan kemana untuk bergerak untuk
menyelamatkan diri, sekaligus menghindari kepanikan dan ketakutan yang dapat
berdampak pada jatuhnya korban.
Baru-baru ini, dua gempa besar berkekuatan
8,5 dan 8,2 skala Richter juga telah mengguncang wilayah daratan Sumatera dan
kepulauan Simeulue tanggal 11 April 2012. Kedua gempa besar tersebut yang
diprediksikan akan mengakibatkan Tsunami telah menimbulkan kekhawatiran,
kemacetan dan kepanikan massa di wilayah pantai barat Sumatera, khususnya di
Aceh.
Mengamati pengalaman saat gempa tersebut
terjadi, Museum Tsunami Aceh telah menjadi pilihan bagi masyarakat, khususnya
para pelajar/siswa sebagai pusat evakuasi untuk menyelamatkan diri dalam upaya
mengantisipasi perkiraan akan terjadinya Tsunami. Diperkirakan 1000 masyarakat,
khususnya para pelajar/siswa melakukan upaya penyelamatan diri secara
spontanitas ke Museum Tsunami. Para petugas Museum Tsunami dengan berbagai
keprihatinan dan kekhawatiran terhadap keselamatan diri dan anggota keluarga
mereka tetap melakukan berbagai upaya mitigasi bencana kepada masyarakat,
khususnya dalam menenangkan massa yang ingin memaksa masuk ke dalam museum
padahal getaran gempa masih terjadi, walaupun massa akhirnya diperbolehkan
masuk, namun tetap waspada dan siaga terjadinya berbagai kondisi yang paling
buruk "worst scenario".
Hasil survey di lapangan, petugas selain
mencoba menenangkan dan menertibkan massa, juga menyempatkan diri menanyakan
alasan dan motif utama para pelajar/siswa menyelamatkan diri ke Museum Tsunami.
Yang paling menakjubkan adalah umumnya para pelajar/siswa memberi jawaban yang
hampir sama bahwa selain mereka telah sering mengunjungi Museum Tsunami dan mempelajari
berbagai aktifitas museum, juga Museum Tsunami berfungsi sebagai pusat evakuasi
bencana, khususnya bila terjadi gempa besar.
Dapat disimpulkan bahwa Museum Tsunami
dengan berbagai koleksi peninggalan Tsunami, media berbagi pengalaman bencana
dan pengetahuan kebencanaan telah menjadi pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi
sangat efektif bagi masyarakat dalam menggugah respon kritis pada isu-isu
kebencanaan dan membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju budaya
kesiap-siagaan bencana, seperti yang telah dilakukan oleh para pelajar/siswa
pasca gempa kembar pada tanggal 11 April 2012.
Langkah-langkah efektif yang dilakukan oleh
para pelajar/siswa telah mengingatkan kita pada sebuah kearifan lokal yang
telah berhasil diadopsi oleh masyarakat Simeulue melalui pengalaman
"Smong"nya atau "Tsunami" dalam bahasa setempat, dimana
sikap penyelamatan diri masyarakat saat akan terjadinya Tsunami bukanlah
dilakukan secara spon tanitas, melainkan berdasarkan pengalaman bencana Tsunami
yang pernah menimpa mereka pada tahun 1907 dengan jumlah korban jiwa yang
relatif besar.
Museum Tsunami Aceh sebagai museum global
diharapkan akan terus berfungsi dan berperan sebagai pusat pendidikan dan
pembelajaran dalam rangka memperkenalkan dan membangun kesadaran masyarakat
terhadap budaya kesiap-siagaan bencana dengan menampilkan beragam objek
"artefact" atau peninggalan bencana serta kegiatan berbagi pengalaman
bencana masa lalu antara saksi hidup yang selamat dari bencana dengan para
pengunjung museum "telling live stories/lessons from past disasters".
Dukungan semua pihak, khususnya Kementerian
ESDM, BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh), TDMRC (Tsunami and Disaster
Mitigation Research Center) dan masyarakat sangat diharapkan dalam memperkuat
dan memajukan Museum Tsunami Aceh sebagai pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi
yang didukung dengan berbagai media simulasi, tenaga ahli dan pengelolaan yang
baik serta menjadi warisan penting bagi generasi muda Aceh untuk tidak pernah
melupakan tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa Aceh yang menghilangkan harta
benda dan orang-orang yang sangat kita cintai. ***
**Tulisan ini dimuat di media Harian Analisa Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar